Thursday, 11 August 2016

REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) DAN NIAS SUMATRA UTARA

Bencana gempa bumi yang berkekuatan 8,9 skala Richter yang diikuti gelombang tsunami yang melanda sebagian besar kawasan pesisir Aceh dan Nias pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 telah menelan korban jiwa maupun harta dalam jumlah yang sangat besar. Akibat dari bencana tersebut, kehidupan masyarakat di wilayah terkena bencana mengalami kelumpuhan hampir di seluruh bidang. Untuk membangun kembali wilayah Aceh dan Nias yang hancur, telah diupayakan pemulihan dan rekonstruksi pascabencana oleh masyarakat, pemerintah daerah, Pemerintah (pusat), pemerintah dari berbagai negara dan lembaga-lembaga internasional. Setelah menyelesaikan tahap tanggap darurat, saat ini sedang dilaksanakan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang diperkirakan akan dapat dituntaskan pada tahun 2008. 

I. Permasalahan yang Dihadapi
Pembangunan kembali masyarakat dan wilayah Aceh dan Nias dihadapkan pada banyaknya masalah, di antaranya: 

A. Korban Manusia yang Sangat Besar
Bencana gempa bumi yang disusul dengan gelombang tsunami telah mengakibatkan korban manusia yang cukup besar. Bencana juga telah menghancurkan permukiman penduduk sehingga banyak penduduk yang mengungsi dan tidak memiliki tempat tinggal. Diperkirakan terdapat lebih dari 400 ribu orang pengungsi yang sebagian besar anak-anak, perempuan dan lanjut usia. Bencana juga memberikan dampak psikis terhadap penduduk yaitu efek traumatik yang berkepanjangan. 

B. Lumpuhnya Pelayanan Dasar 
Selain korban manusia, bencana gempa bumi dan tsunami juga melumpuhkan hampir seluruh pelayanan dasar di wilayah yang terkena bencana. Penduduk yang selamat sangat kekurangan pelayanan dasar seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, sosial dan pemerintahan. Lumpuhnya pelayanan dasar ini disebabkan hancurnya sarana dan prasarana dasar seperti rumah sakit, sekolah, dan kantor pemerintahan serta banyaknya korban aparat pemerintah yang menjalankan fungsi pelayanan dasar. 

C. Tidak berfungsinya Infrastruktur Dasar 
Infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, pelabuhan, dan lain-lain juga tidak luput menjadi korban keganasan bencana gempa dan tsunami. Infrastruktur sebagai penopang aktivitas sosial-ekonomi masyarakat banyak yang tidak berfungsi dengan tingkat kerusakan yang sangat parah.  

D. Hancurnya sebagian Sistem Sosial dan Ekonomi 
Secara keseluruhan, bencana telah menghancurkan sebagian sistem sosial-ekonomi masyarakat di Aceh dan Nias. Aktivitas produksi, perdagangan dan perbankan mengalami stagnasi total dan perlu pemulihan dengan segera. Sistem transportasi dan telekomunikasi juga mengalami gangguan yang serius dan harus segera ditangani agar lokasi-lokasi bencana dapat segera diakses. 

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah bersama komunitas donor yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia pada bulan Februari 2005, lebih dari 150.000 korban telah meninggal dunia atau masih belum ditemukan; 127.000 rumah hancur dan sejumlah yang sama rusak. Di Nias 850 jiwa melayang dan 35.000 rumah hancur atau rusak. Lebih dari 500.000 orang tidak memiliki tempat tinggal, 2 rumah sakit hancur dan 5 lainnya rusak parah; 26 pusat kesehatan masyarakat utama hancur bersama dengan 1.488 sekolah, 150.000 anak berada tanpa pendidikan; 230 km jalan berikut 9 pelabuhan rusak berat; 11.000 hektar tanah mengalami kerusakan (2.900 hektar diantaranya rusak permanen); ada kemungkinan bahwa ekonomi akan menciut sebanyak 14 persen, dengan nilai ratusan miliar rupiah yang hilang produktivitasnya (separuhnya dari perikanan), 90 persen dari terumbu karang dan daerah hutan bakau yang sangat luas telah mengalami kerusakan dan perhitungan terus berjalan. Secara keseluruhan diperkirakan tiga perempat juta manusia – satu untuk setiap enam penduduk Aceh – menjadi korban langsung, yang sangat menderita karena kehilangan teman dan keluarga, kehilangan mata pencaharian ataupun trauma. Selain masalah trauma fisik dan psikologis, masalah khusus yang dihadapi anak dan perempuan, adalah meningkatnya resiko terjadinya tindakan pelecehan seksual dan perdagangan manusia. Di samping itu, juga perlu diantisipasi berbagai masalah akan timbul seperti masalah kerentanan terhadap kepercayaan terutama untuk anak-anak; ketidakstabilan emosional masyarakat rentan (anak-anak, perempuan, orang tua dan cacat); keadaan fisik korban yang perlu penanganan segera, dan juga keadaan pendidikan yang terlalu lama fakum, serta pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang dan perumahan yang memerlukan penanganan prioritas.  

II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Sejak terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, Pemerintah telah mengambil langkah-langkah penanggulangan sebagai berikut:
A. Menyatakan Bencana Aceh dan Nias sebagai Bencana Nasional
Presiden RI mengeluarkan Keputusan Presiden tanggal 27 Desember 2004 yang menyatakan bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di wilayah Aceh dan Nias sebagai bencana nasional, dan selanjutnya juga mengeluarkan arahan berupa 12 direktif kepada seluruh jajaran Kabinet Indonesia Bersatu dan Gubernur Provinsi NAD serta Bupati Nias untuk melakukan tindakan yang segera dan komprehensif di dalam penanganan tanggap darurat bencana alam tersebut. 
Sebagai tindak lanjut dari arahan direktif tersebut, telah diterbitkan pula Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan serta Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi NAD dan Nias, Sumatra Utara.

B. Memobilisasi sumber daya nasional dan daerah untuk upaya-upaya penanganan darurat
Dalam rangka mengkoordinasikan pengendalian dan penanggulangan bencana dan segala upaya tanggap darurat, pada tahap awal Wakil Gubernur NAD secara langsung mengkoordinasikan dan mengendalikan penanggulangan bencana sampai dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Khusus Aceh dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Ketua Bakornas PBP Nomor 1 Tahun 2004 tanggal 30 Desember 2004. Satkorlak ini diketuai oleh Wakil Presiden dan Menko Kesra selaku Ketua Pelaksana Harian dan Wakil Gubernur NAD sebagai Pelaksana di tingkat Provinsi. 
Mengingat dampak bencana yang sangat luas, selanjutnya Pemerintah Pusat guna memperkuat Satkorlak PBP di Provinsi NAD, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Januari 2005 yang menempatkan Menko Kesra sebagai ketua Satkorlak Khusus, Wakasad sebagai Wakil Ketua I dan Wakil Gubernur NAD sebagai Wakil Ketua II yang khusus mengkoordinasikan pemulihan fungsi pemerintahan.
Secara operasional, kegiatan tanggap darurat diarahkan pada kegiatan: (a) evakuasi dan pemakaman jenazah korban; (b) penanganan pengungsi; (c) pemberian bantuan darurat; (d) pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih; (e) pembersihan kota; dan (f) penyiapan hunian sementara (huntara).
Dukungan internasional sangat membantu percepatan upaya-upaya tanggap darurat, yang antara lain melalui tim penyelamatan (rescue team), tim medis, dan dukungan sarana transportasi berupa kapal laut dan helikopter.

C. Mengembalikan Fungsi Pemerintah Daerah
Koordinasi pelaksanaan kegiatan tanggap darurat dilakukan melalui mekanisme komando (Posko) yang terdiri dari: (a) Posko Nasional Bakornas PBP di Kantor Wakil Presiden; (b) Posko Utama Satkorlak Khusus di Banda Aceh, Posko Pendukung Logistik di Medan, Batam dan Sabang; dan (c) Posko Satlak Khusus (Satlaksus) di tiga wilayah, yaitu: Satlaksus I di Lhokseumawe, Satlaksus II di Banda Aceh, dan Satlaksus III di Meulaboh.
Mengingat banyaknya aparatur Pemerintah Daerah yang terkena dan menjadi korban bencana, maka untuk menjaga kelangsungan pelayanan Pemerintahan Daerah, Departemen Dalam Negeri menurunkan Tim Pendamping ke 20 kabupaten/kota dan provinsi sejumlah 356 orang, yang terdiri dari pejabat eselon I hingga IV, serta dosen dan praja STPDN. Departemen dan lembaga-lembaga pusat lainnya juga membentuk pos-pos komando untuk memperlancar pelaksanaan bantuan tanggap darurat sesuai dengan tanggung jawab masing-masing instansi.

Upaya penanggulangan dan pemulihan tersebut dilakukan dengan pendekatan secara utuh dan terpadu melalui tiga tahapan, yaitu tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi yang harus berjalan secara bersamaan dalam pelaksanaan penanggulangan dampak bencana. 
a. Tahap Tanggap Darurat (Januari 2005 – Maret 2005)
Bertujuan menyelamatkan masyarakat yang masih hidup, mampu bertahan dan segera terpenuhinya kebutuhan dasar yang paling minimal. Sasaran utama dari tahap tanggap darurat ini adalah penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan. Dalam tahap tanggap darurat ini, diupayakan pula penyelesaian tempat penampungan sementara yang layak, serta pengaturan dan pembagian logistik yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana yang masih hidup. Saat bencana baru saja terjadi, Tahap Tanggap Darurat ditetapkan selama 6 bulan setelah bencana, namun demikian, setelah ditetapkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2005, Tahap Tanggap Darurat ini kemudian diperpendek menjadi 3 bulan dan berakhir pada tanggal 26 Maret 2005.
Pada tahap tanggap darurat ini masyarakat Aceh, Pemda provinsi dan kabupaten/kota di Aceh dan Nias, unsur-unsur TNI, Palang Merah Indonesia, dan sejumlah besar LSM nasional dengan dukungan pendanaan dari perusahaan-perusahaan  nasional, masyarakat umum dan pemerintah daerah lain, dengan sigap membantu menyelamatkan kehidupan dari keluluhlantakan tersebut. Berkat tanggap darurat yang demikian cepat dan juga struktur masyarakat yang kohesif korban yang lebih banyak dapat dicegah. Respon masyarakat Indonesia tersebut sangat luar biasa besar dalam membantu masyarakat Aceh dan Nias mengatasi akibat bencana yang terbesar dalam kurun waktu ratusan tahun ini. Dukungan tanggap darurat juga datang dari masyarakat dan LSM lokal dalam usaha percepatan evakuasi dan pemakaman korban, penanganan pengungsi, pemberian bantuan darurat, pembersihan kota dan penyiapan hunian sementara. 

Perhatian masyarakat internasional lainnya juga sangat besar, hal ini ditunjukkan dengan besarnya kesediaan (commitment) para donor multilateral dan bilateral, disamping masyarakat di berbagai negara untuk membantu memulihkan penderitaan masyarakat kendati terdapat perbedaan agama antara yang membantu dengan yang dibantu. Untuk upaya tanggap darurat, tercatat sekitar lebih 700 juta dolar AS telah dijanjikan oleh berbagai donor kepada pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan. Pada tanggal 6 Januari 2005, atas inisiatif PM Singapura Lee Hsien Long, diadakan pertemuan internasional di Jakarta yaitu Asean Leader’s Meeting On Aftermath of Tsunami Disaster, yang dibuka oleh Presiden RI, dihadiri oleh Sekjen PBB Kofi Annan, Menlu AS, PM Australia John Howard, PM Malaysia H. M. Abdullah Badawi, Presiden Laos, Thailand, Sri Lanka, India, negara-negara lainnya yang terkena bencana serta perwakilan  baik dari lembaga donor multilateral (WB, ADB, UN, dll) maupun dari lembaga donor bilateral (AS, Jepang, Belanda, dll).
Pemerintah Pusat sendiri bersama dengan komunitas internasional, segera setelah bencana terjadi menyiapkan analisis terhadap kerusakan dan kerugian akibat bencana dan Rencana Induk untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara. Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 ini kemudian diikuti dengan pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara melalui penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2005 pada tanggal 16 April, serta Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja serta Hak Keuangan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara.
Pada tahap tanggap darurat ini telah berhasil diselamatkan 80m3 dokumen/arsip pertanahan milik BPN Provinsi NAD. Upaya penyelamatan ini merupakan kerja sama antara Arsip Nasional RI, BPN, JICA, Tokyo Reservation and Conservation Center, Japan International Cooperation Systems. 

b. Tahap Rehabilitasi (April 2005 – Desember 2006)
Bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi mesjid, rumah sakit, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai.  Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek hukum melalui penyelesaian hak atas tanah, penyelamatan dokumen pertanahan, penanganan trauma korban bencana, dan lain-lain.

c. Tahap Rekonstruksi (Juli 2005 – Desember 2009)
Bertujuan membangun kembali kawasan kota, desa dan aglomerasi kawasan dengan melibatkan semua masyarakat korban bencana, para pakar, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Pembangunan prasarana dan sarana akan dimulai dari sejak selesainya penyesuaian rencana tata ruang baik di tingkat provinsi dan terutama di tingkat kabupaten dan kota yang mengalami kerusakan, terutama di daerah pesisir.  Sasaran akhir tahap rekonstruksi ini adalah terbangunnya kembali kehidupan masyarakat yang lebih baik di wilayah yang terkena bencana. Pada tahap ini juga akan dibangun instalasi sistem peringatan dini bencana alam, yang didukung dengan data dan riset ilmu kebumian, sehingga kejadian serupa tidak menimbulkan korban yang besar di kemudian hari dan di berbagai wilayah negara.
Pada saat ini tahap tanggap darurat telah selesai dilaksanakan, dan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias telah dimulai. Dari segi pendanaan, telah diperoleh persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menganggarkan Rp8,4 triliun bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias untuk tahun anggaran 2005, dimana Rp3,9 triliun akan disalurkan melalui Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi NAD dan Nias (BRR) yang telah menetapkan sejumlah 101 Satuan Kerja (Satker) pelaksanaan proyek, dan sisanya, Rp4,4 triliun akan dikerjakan oleh kementerian atau lembaga negara terkait setelah melakukan koordinasi dengan BRR. 
BRR selanjutnya telah menyerahkan dana rekonstruksi dan rehabilitasi sebesar Rp3,9 triliun itu kepada para Bupati dan Kepala Dinas yang wilayahnya terkena bencana gempa bumi dan tsunami. Dana itu seluruhnya untuk kepentingan dan kebutuhan rakyat melalui proses perencanaan yang berasal dari bawah. Dana ini dibagi untuk bidang-bidang perencanaan dan program Rp90,5 miliar; kelembagaan Rp769,753 miliar; perumahan, infrastruktur dan tata guna lahan Rp1,619 triliun; pemberdayaan ekonomi dan usaha Rp546,104 miliar; agama, sosial, dan kebudayaan Rp270,809 miliar; pendidikan dan kesehatan Rp480 miliar; dan sekretariat dan komunikasi Rp190,529 miliar.
Di luar anggaran pemerintah, maka proses rehabilitasi dan rekonstruksi telah berhasil menjaring komitmen dari negara-negara donor baik secara bilateral atau multilateral, dukungan lembaga internasional yang tergabung di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), LSM Internasional dan partisipasi kalangan perusahaan swasta, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Jumlah komitmen pendanaan ini mencakup berbagai proyek rehabilitasi dan rekonstruksi senilai 3,l miliar dolar Amerika Serikat.
Dari dana sebesar 3,l miliar dolar Amerika Serikat tersebut, sebesar 1,3 miliar dolar Amerika Serikat di antaranya diperoleh pemerintah dari komitmen negara-negara donor, Federasi Palang Merah lnternasional dan Bulan Sabit Merah Internasional, LSM Internasional yang telah menjajaki bantuannya sejak masa tanggap darurat setelah terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias. Adapun sisanya, 1,8 miliar dolar Amerika Serikat, dijaring melalui proses review dan persetujuan terhadap 357 proposal proyek yang dihimpun oleh BRR dalam tiga kali rapat kerja dalam kurun waktu Mei hingga Juli 2005.
Beberapa hasil pembangunan yang dilaksanakan sampai dengan akhir bulan Juli 2005 adalah dibangunnya 3.200 unit rumah di sejumlah lokasi di Aceh dan Nias oleh berbagai lembaga dalam dan luar negeri. Rumah yang dibangun hingga akhir tahun 2005 diharapkan berjumlah 30.000 unit dari total yang akan dibangun sekitar 80.000 unit. Untuk pembangunan kembali akses transportasi, pemerintah dengan bantuan Palang Merah Singapura dan Pemerintah Singapura, telah memulai pelaksanaan pengerjaan Pelabuhan Meulaboh, melalui bantuan pemerintah Australia dan United Nations Development Programme (UNDP) kegiatan pembangunan kembali Pelabuhan Ulee Lhue di Banda Aceh juga tengah berlangsung. Untuk pemulihan kembali sebagian akses jalan di pantai barat Aceh, maka pemerintah Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID), telah menyetujui pendanaan untuk pembangunan kembali jalan raya antara Meulaboh dan Banda Aceh dengan nilai proyek sebesar 250 juta dolar Amerika Serikat.
Dalam pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak, yang dalam pelaksanaannya melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat dengan dukungan lembaga/negara donor, telah dilakukan antara lain: (1) pembentukan 20 children center (Jambo Aneuk Meutuah), yang merupakan tempat perawatan kesehatan anak dan penanganan trauma psikologis dan penyatuan kembali anak dengan keluarganya; (2) pembentukan Gugus Anti-Traffiking dan Anti Kekerasan terhadap Anak dan pelaksanaan public campaign untuk pelindungan terhadap perdagangan anak; (3) pembangunan pusat dukungan untuk perempuan (Women’s Support Center) guna memberikan pelindungan bagi perempuan di daerah pengungsian untuk mengatasi masalah trauma psikologis; dan (4) penyediaan Child Help Line, sebagai sarana untuk melakukan konseling trauma pascabencana. Pemerintah juga telah melakukan pendataan Potensi Desa di seluruh Indonesia, termasuk NAD, melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Penduduk antarsensus (Supas). Bagi kelompok pemuda, pemerintah mengupayakan pulihnya aktivitas kepemudaan dan keolahragaan dan fungsi-fungsi kelembagaannya.
III. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Setelah mengevaluasi proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias yang sedang dilaksanakan, pemerintah mengidentifikasi adanya sejumlah persoalan strategis yang memerlukan kerja sama dari masyarakat dan lembaga internasional. 
Isu pertama adalah persoalan pemilikan hak tanah dan tata guna lahan. Dalam hal ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang mempersilakan pemilik lahan untuk kembali ke tanah asalnya, tidak menerapkan upaya relokasi kecuali untuk warga yang tanahnya tidak dapat lagi digunakan, dan bantuan untuk pengurusan hak atas tanah oleh warga secara kolektif dan bebas biaya. 
Kedua, kurangnya ketersediaan bahan baku dan bangunan dalam jumlah besar akibat rusaknya mata rantai distribusi dan penyimpanan di Aceh dan Nias. Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk pembukaan akses transportasi di beberapa titik yang tidak terjangkau oleh jalur darat melalui pembangunan landasan udara atau air-strip. 
Ketiga, untuk mengatasi trauma psikologis pada anak dan perempuan telah dan akan dilanjutkan pelayanan trauma konseling melalui women trauma center dan children center, sekaligus untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan perdagangan anak, dengan dibentuknya Gugus Tugas Anti-trafficking dan Pencegahan Tindak Kekerasan.  Di samping itu, juga perlu terus dilakukan upaya untuk mempertemukan kembali anak-anak dengan keluarganya dilakukan melalui kegiatan ”reunifikasi keluarga”, sejalan dengan terus mengupayakan pemulihan spiritual (spiritual healing), pemulihan emosional (emotional healing) terhadap kejadian traumatik yang dihadapi dengan memberikan semangat hidup dan bangkit kembali menjadi sangat penting, penyembuhan fisik (physical healing); dan penyembuhan terhadap kemampuan otak manusia (intelligential healing).
Keempat, kemungkinan terjadinya peningkatan harga barang akibat membengkaknya permintaan di pasar terhadap material dan bahan baku bangunan. Untuk mengatasi persoalan ini maka pemerintah juga akan menerapkan kebijakan impor bahan baku untuk menyeimbangkan antara permintaan dan pasokan bahan baku yang tersedia di pasar. 
Kelima, proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias masih berhadapan dengan persoalan rawan, yakni korupsi dan pembalakan liar di hutan. Untuk itu pemerintah selain membentuk Dewan Pengawas yang melakukan monitoring terhadap seluruh kegiatan BRR, juga mengundang keterlibatan independent auditor bertaraf internasional yang akan melakukan proses audit terhadap segala bentuk laporan keuangan dari penggunaannya. Hal ini untuk menjamin berlangsungnya prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan pada program rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias. 
Dalam mengatasi masalah pembalakan kayu liar ini pemerintah dengan mengerahkan dukungan dari aparat keamanan dan instansi terkait akan melakukan pengawasan secara ketat terhadap produk-produk hasil hutan yang digunakan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias. Hal ini harus dilakukan mengingat kebutuhan terhadap kayu sangat besar, yang diperkirakan sekitar 6-7 juta meter kubik kayu. Jika tidak dikendalikan dengan baik, maka proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias akan menelan korban berupa pembabatan secara serampangan hutan-hutan yang ada di Indonesia. Apalagi sebagaimana diketahui pembalakan liar merupakan isu sensitif tidak hanya bagi warga Indonesia tapi juga masyarakat internasional yang sejak awal telah menyatakan anti terhadap illegal logging atau pembalakan liar sebagai bentuk dukungan mereka terhadap kelestarian hutan di lndonesia. Selain melakukan pengawasan secara ketat maka pemerintah juga membuka opsi kebijakan berupa donasi kayu impor dari luar negeri. Selain untuk mencukupi kebutuhan kayu pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi maka kebijakan donasi kayu ini diperlukan untuk mempertegas komitmen pemerintah dalam menjawab uluran tangan beberapa negara donor yang menjanjikan bantuan berupa kayu untuk Aceh dan Nias. 
Keenam, isu lingkungan hidup yang lain dan cukup menonjol adalah Proyek Ladia Galaska yang berpotensi mengganggu kelestarian hutan Leuser jika tidak dikelola dengan baik. Pemerintah akan memperhatikan dengan cermat apa saja dampak lingkungan dan sosial ekonomi bagi kawasan hutan yang disepakati telah menjadi area konservasi internasional. Pemerintah akan mengkaji lebih dalam tentang proyek pembangunan jalan yang melintasi kawasan hutan lindung ini dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan akses untuk masyarakat. Beberapa opsi berkaitan dengan pembukaan akses transportasi via udara dan sarana lainnya akan diperhatikan untuk menjawab problem kelestarian lingkungan di tengah tuntutan pembukaan akses transportasi untuk masyarakat. 
Ketujuh, pemerintah melalui proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias telah sejak awal bertekad untuk menjadikannya bagian dari upaya reformasi birokrasi dan pemerintahan. Upaya perubahan yang berlangsung berangkat dari kebutuhan dasar perangkat pemerintah daerah yang telah kehilangan sebagian besar aparat dan birokrasinya karena telah menjadi korban bencana alam atau terlibat kasus korupsi. Pemerintah telah membekali BRR dengan mandat untuk memberdayakan dan membangun kembali birokrasi dan aparat pemerintah daerah di Aceh dan Nias. Kesempatan yang melahirkan peluang untuk menjadikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias sebagai ikhtiar untuk melahirkan role model bagi upaya menegakkan aparat pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab (good governance). 
Kedelapan, hal strategis berikutnya yang juga menjadi perhatian dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi adalah tindak lanjut dari proses perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki. Upaya damai ini menuntut kesiapan dari pihak pemerintah di antaranya untuk mempersiapkan upaya penciptaan lapangan kerja, penyediaan perumahan dan program pemukiman kembali para anggota eks-GAM di tengah masyarakat Aceh. Perhatian terhadap para anggota eks-GAM yang kelak kembali ke masyarakat setelah memperoleh amnesti membutuhkan perhatian tersendiri dari pemerintah, bukan dalam rangka untuk membedakan mereka dengan warga kebanyakan, melainkan karena proses konflik yang telah dialami telah menyebabkan munculnya kondisi sosial yang berbeda dengan para pengungsi yang selamat dari ganasnya bencana tsunami dan gempa bumi di Aceh.  
Pelaksanaan rekonstruksi Aceh dan Nias pada waktu mendatang akan tetap difokuskan pada:

a. Mempercepat pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan rekonstruksi.
c. Memobilisasi sumber dana dengan mengoptimalkan bantuan luar negeri dan dana rupiah serta memanfaatkannya sesuai dengan rencana berlandaskan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan akuntabel.
Walaupun pelaksanaan pembangunan kembali Aceh dan Nias lebih lambat dari yang diharapkan, namun seluruh kegiatan diperkirakan dapat dilaksanakan dengan cepat pada tahun ini, sehingga masyarakat yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami dapat secara bertahap kembali bermukim dan melakukan kegiatan sosial ekonomi secara lebih baik dari keadaan semula.

0 Berkomentar: