- Langkah I (pertama) : Pengumpulan Data Dasar
- Pada langkah pertama ini dilakukan pengkajian dengan
mengumpulkan semua data yang diperlukan untuk mengevaluasi keadaan klien
secara lengkap, yaitu:
♠ Riwayat kesehatan
♠ pemeriksaan fisik pada kesehatan
♠ Meninjau catatan terbaru atau catatan
sebelumnya
♠ Meninjau data laboratorium dan membandingkan
dengan hasil studi
Pada langkah pertama ini dikumpulakan semua
informasi yang akurat dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
Bidan mengumpulkan data dasar awal yang lengkap. Bila klien mengalami
komplikasi yang perlu dikonsultasikan kepada dokter dalam manajemen kolaborasi
bidan akan melakukan konsultasi.
Langkah II (kedua): Interpretasi Data Dasar
- Pada langkah ini dilakukan interpretasi data yang benar
terhadap diagnosa atau masalah dan kebutuhan klien berdasarkan
interpretasi yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar
yang sudah dikumpulkan di interpretasikan sehingga ditemukan masalah atau
diagnosa yang spesifik. Masalah sering berkaitan dengan pengalaman wanita
yang di identifikasikan oleh bidan. Masalah ini sering menyertai diagnosa.
Sebagai contoh yaitu wanita pada trimester ketiga merasa takut terhadap
proses persalinan dan persalinan yang sudah tidak dapat ditunda lagi.
Perasaan takut tidak termasuk dalam kategori “nomenklatur standar
diagnosa” tetapi tentu akan menciptakan suatu masalah yang membutuhkan
pengkajian lebih lanjut dan memerlukan suatu perencanaan untuk mengurangi
rasa sakit.
Langkah III (ketiga): Mengidentifikasikan
diagnosa atau masalah Potensial
- Pada langkah ini kita mengidentifikasikan masalah atau
diagnosa potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang
sudah diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila
memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien, bidan
diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnosa atu masalah potensial benar-benar
terjadi.
- Langkah IV (keempat): Mengidentifikasi dan Menetapkan
Kebutuhan yang Memerlukan Penanganan segera
- Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan
atau dokter dan/atau untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan
anggota tim kesehatan yang lain sesuai kondisi klien.
Langkah keempat mencerminkan kesinambunagan
dari proses manajemen kebidanan. Jadi manajemen bukan hanya selama asuhan
primer periodik atau kunjungan prenatal saja, tetapi juga selama wanita
tersebut bersama bidan terus menerus, misalnya pada waktu wanita tersebut dalam
persalinan.
Data baru mungkin saja perlu dikumpulkan dan
dievaluasi. Beberapa data mungkin mengindikasikan situasi yang gawat dimana
bidan harus bertindak segera untuk kepentingan keselamatan jiwa ibu atau anak
(misalnya, perdarahan kala III atau perdarahan segera setelah lahir, distocia
bahu, atau nilai APGAR yang rendah).
Dari data yang dikumpulkan
dapat menunjukan satu situasi yang memerlukan tindakan segera sementara yang
lain harus menunggu intervensi dari seorang dokter, misalnya prolaps tali
pusat. Situasi lainya bisa saja tidak merupakan kegawatan tetapi memerlukan
konsultasi atau kolaborasi dengan dokter.
Langkah V(kelima) : Merencanakan Asuhan yang
menyeluruh
Pada langkah ini direncanakan asuahan yang
menyeluruh ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya.
Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen
terhadap diagnosa atau masalah yang telah diidentifikasi atau diantisipasi,
pada langkah ini informasi/ data dasar yang tidak lengkap dapat dilengkapi.
Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya
meliputi apa yang sudah teridentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap
masalah yang berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi terhadap
wanita tersebut seperti apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya apakah
diberikan penyuluhan, konseling, dan apakah merujuk klien bila ada
masalah-masalah yg berkaitan dengan sosial ekonomi,kultur atau masalah
psikologis.
Semua keputusan yg dikembangkan dalam asuhan
menyeluruh ini harus rasional dan benar- benar valid berdasarkan pengetahuan
dan teori yg up to date serta sesuai dengan asumsi tentang apa yang akan atau
tidak akan dilakukan oleh klien.
Langkah VI(keenam) : Melaksanaan perencanaan
Pada langkah keenam ini rencana asuhan
menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah ke 5 dilaksanakan secara
efisien dan aman. Perencanaan ini bisa dilakukan oleh bidan atau sebagian
dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi oleh klien, atau anggota tim kesehatan
yang lain. Jika bidan tidak melakukanya sendiri ia tetap memikul tanggung jawab
untuk mengarahkan pelaksanaanya. Manajemen yang efisien akan menyingkat waktu
dan biaya serta meningkatkan mutu dari asuhan klien.
Langkah VII(Terakhir) : Evaluasi
Pada langkah ke-7 ini dilakukan evaluasi
keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan
bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai dengan sebagaimana telah
diidentifikasi didalam masalah dan diagnosa. Rencana tersebut dapat dianggap
efektif jika memang benar efektif dalam pelaksananya. Ada kemungkinan bahwa
sebagian rencana tersebut telah efektif sedang sebagian belum efektif.
SEJARAH
PERKEMBANGAN PELAYANAN DAN PENDIDIKAN KEBIDANAN DI DALAM NEGERI
1.
PERKEMBANGAN PELAYANAN KEBIDANANTenaga yang sejak dulu hingga saat ini memegang peranan penting dalam perkembangan kebidanan adalah dukun bayi. Dukun diminta pertimbangan pada masa kehamilan, mendampingi persalinan hingga selesai dan mengurus ibu serta bayinya dalam masa nifas.
Dukun bayi biasanya seorang wanita, umumnya berumur diatas 30 tahun dan buta huruf. Dukun adalah pekerjaan turun temurun di keluarga, ia mendapat pelatihan dari dukun yang elbih tua yang kelak akan digantikan. Pengetahuan mereka tentang fisiologi dan patologi kehamilan, persalinan dan nifas sangat terbatas hingga timbul komplikasi, ia tidak mampu mengatasi dan tidak menyadari akibatnya, meski demikian dukun dalam masyarakat mempunyai pengaruh yang besar, tidak hanya memberi pertolongan tapi juga emosional kepada wanita yang sedang bersalin serta keluarganya karena ia dapat membantu jalannya proses persalinan karena adanya doa-doanya.
Praktek kebidanan modern dibawa masuk ke Indonesia oleh dokter Belanda yang bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda. Tahun 1850 dibuka kursus kebidanan yang pertama, tapi kemudian ditutup pada tahun 1873, kemudian pada tahun 1879 dibuka kembali.
Pendidikan dokter secara sederhana dimulai pada tahun 1815 dengan didirikannya Sekolah Dokter Jawa. Berkat peningkatan di segala bidang pendidikan termasuk tenaga kesehatan hingga pada pertengahan tahun 1979 telah ada 8000 dokter dan lebih dari 16.888 tenaga bidan. Khusus pelayanan kebidanan untuk masyarakat desa sebagian besar masih di dominasi tenaga-tenaga tradisional. Pada tahun 1978 kira-kira 90% persalinan masih ditangani dukun, 6% oleh bidan dan hanya 1 % yang ditangani dokter. Pada tahun 1950 dilaksanakan Program Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) yang pada umumnya dipimpin oleh bidan. Pada BKIA itu diselenggarakan pemeriksaan antenatal, post natal, KB, pemeriksaan dan pengawasan penyuluhan gizi pada anak dibawah umur 5 tahun serta pembinaan dukun bayi
Bidan juga dapat dipanggil ke rumah jika dapat kesulitan dalam persalinan. Di BKIA juga diadakan persalinan dukun bayi karena pada waktu itu tenaga dukun masih sangat diperlukan sehingga mereka dapat lebih cepat mengenal tanda-tanda bahaya yang dapat timbul dalam kehamilan dan persalinan dan segera minta pertolongan pada bidan.
Demikian pula dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu peragaan terintegrasi kepada masyarakat yang dinamakan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Pada tahun 1957 puskesmas memberikan pelayanan didalam gedung dan diluar gedung dan berorientasi di wilayah kerja. Pelayanan kebidanan yang diberikan diluar gedung adalah pelayanan kesehatan dan pelayanan di pos pelayanan terpadu (posyandu). Pelyanan di posyandu mencakup empat kegiatan yaitu pemeriksaan hamil, KB, imunisasi, gizi dan kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990 pelaksanaan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat sesuai instruksi presiden tahun 1992 yaitu penempatan bidan di desa sebagai pelaksana kesehatan KIA khususnya pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir termasuk pembinaan dukun bayi. Serta mengembangkan pondok bersalin sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Bidan yang di rumah sakit memberikan poliklinik antenatal, senam hamil, kamar bersalin, ruang nifas, dan ruang perinatal kamar opersai kebidanan.
Bidan dalam melaksanakan peran fungsinya didasarkan pada kemampuan yang diberikanyang diatur melalui permenkes dimulai dari :
1). Permenkes no 5380/IX/1963 wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri disamping tugas yang lain
2). Permenkes 623/1989 wewenang bidan dibagi menjadi 2 yaitu wewenang umum dan khusus dalam hal ini bidan melaksanakan tindakan dibawah pengawasan doker
3). Permenkes no 572/VI/1996 tentang registrasi dan praktek bidan dalam melaksanakan tindakan
2. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN BIDAN
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan, yang dimaksud dengan pendidikan kebidanan adalah pendidikan formal dan non formal
1) Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan hindia belanda, tahun 1851 dokter militer belanda membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di batavia
2) Tahun 1904 mulai diibuka pendidikan bidan di rumah sakit militer di batavia
3) Tahun 1911/1912 dimulai tenaga keperawatan di RSUP semarang dan batavia
4) Tahun 1935-1938 pemerintah belanda mendidik bidan lulusan mulo (setingkat SMP) dan dibuka sekolah bidan di RSB Budi Kemuliaan Jakarta, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang
5) Tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan 3 tahun. Mengingat kebutuhabn tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak, dibuka pendidikan pembantu bidan /jenjang kesehatan E dan ditutup tahun 1976
6) Tahun 1953 dibuka kursus tambahan bidan (KTB) di yogaykarta lamanya kursus antara 7-12 minggu
7) Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan bersama dengan guru perawat di bandung, dan awal 1972 institusi pendidikan dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP), dan pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan bidan
8) Tahun 1970 dibuka program pendididkan yang menerima lulusan sekolah pengatur rawat ditambah 2 tahun pendidikan bidan yang disebut sekolah pendidikan lanjutan jurusan kebidanan dan ini tidak dilaksanakan secara merata dari seluruh provinsi
9) Tahun 1974 dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal
10) Tahun 1975-1985 institusi pendidikan bidan ditutup
11) Tahun 1981 dibuka pandidikan D, kesehatan ibu dan anak, yang berlangsung hanya satu tahun
12) Tahun 1985 dibuka program pendidikan bidan lulusan SPB dan SPK, lamanya pendidikan 1 tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim
13) Tahun 1989 dibuka Cresh program pendidikan bidan secara normal yang lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan (PPB/A), lama pendidikan 1 tahun dan lulusannya ditempatkan di desa dengan tujuan untuk memberikan pelajaran kesehatan terutama ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak. Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebgaai pegawai tidak tetap (PTT)
14) Tahun 1993 dibuka PPB program bidan yang peserta didukungnya dari lulusan akper dengan lama pendidikan 1 tahun yang tujuannya untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada program pendidikan bidan A
15) Tahun 1993 dibuak PPB program C yang menerima lulusan SMP dilakukan di 11 provinsi di wilayah sumatera, kalimantan, sulawesi selatan, NTT, maluku dan irian
16) Tahun 1994-1995 pemerintah menyelenggarakan uji coba pendidikan PPB jarak jauh di 3 Provinsi jawa barat, jawa tengah, jawa timur. Pengaturan penyelenggaraan telah diatur dalam SK menkes no 1247/menkes/SK/XII/1994
17) Tahun 1994 dilakukan pelatihan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal LLSS
18) Tahun 1996 Ibi bekerja sama dengan depkes dan American College of Nurse Midwife (ACNM) dan RS swasta menjadikan training kepada anggota IBI sebanyak 8 orang untuk LSS yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di PP IBI
19) Tahun 1995-1998 IBI bekerja sama dengan mother care melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan RS, bidan puskesmas dan bidan desa di provinsi kalimantan selatan
20) Tahun 2000 ada pelatihan APN yang dikoordinasikan untuk maternal neonatal health (MNH) sampai saat ini telah melalui APN di beberapa provinsi
Sumber : bidan menyongsong masa depan 50 tahun IBI
Ilmu kebidanan
Tugas Kuliah :
PROFIL PERKEMBANGAN PELAYANAN DAN PENDIDIKAN BIDAN (DALAM DAN LUAR NEGERI)
A. Profil
Perkembangan Pelayanan dan Pendidikan Bidan dalam Negeri1. Perkembangan Pelayanan Kebidanan di Indonesia
Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab profesi bidan dalam sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan kaum perempuan khususnya ibu dan anak-anak.
Layanan kebidanan yang tepat akan meningkatan keamanan dan kesejahteraan ibu dan bayinya. Layanan kebidanan/oleh bidan dapat dibedakan meliputi:
a. Layanan kebidanan primer yaitu layanan yang diberikan sepenuhnya atas tanggung jawab bidan.
b. Layanan kolaborasi yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim secara bersama-sama dengan profesi lain dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.
c. Layanan kebidanan rujukan yaitu merupakan pengalihan tanggung jwab layanan oleh bidan kepada sistem layanan yang lebih tinggi atau yang lebih kompeten ataupun pengambil alihan tanggung jawab layanan/menerima rujukan dari penolong persalinan lainnya seperti rujukan.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 (zaman Gubernur Jenderal Hendrik William Deandels) para dukun dilatih dalam pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan. Adapun pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Tahun 1849 di buka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (Di Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto). Saat itu ilmu kebidanan belum merupakan pelajaran, baru tahun 1889 oleh Straat, Obstetrikus Austria dan Masland, Ilmu kebidanan diberikan sukarela. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda (dr. W. Bosch). Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan. Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula dikota-kota besar lain di nusantara. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan keluarga berencana. Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk. Pembinaan dukun bayi. Dalam melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai denga kebutuhan masyarakat setempat. Hal tersebut di atas adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya dengan bidan yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan berorientasi pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik antenatal, gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal. Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada reproduktive health (kesehatan reproduksi), memperluas area garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi:
1. Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus
2. Family Planning
3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
4. Kesehatan reproduksi pada remaja
5. Kesehatan reproduksi pada orang tua.
0 Berkomentar:
Post a Comment