BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR
BELAKANG MASALAH
Manusia
sebagai makhluk sosial memerlukan alat untuk berinteraksi yaitu bahasa. Hal ini
didukung dengan pengertian
bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk berinteraksi; percakapan yang baik,
tingkah laku yang baik, sopan santun. Adanya bahasa membuat kita menjadi mahluk
yang bermasyarakat(atau mahluk sosial). Kemasyarakatan kita tercipta dengan
bahasa, dibina dan dikembangkan dengan bahasa; Lindgren (1972) menyebut bahasa
itu sebagai”perekat masyarakat”. Broom & Selznik (1973: 94) menyebutnya
sebagai “faktor penentu dalam penciptaan masyarakat manusia” dalam
Subyakto-Nababan (1992: 1).
Penguasaan
bahasa manusia berbeda
dengan hewan, hal ini dilandasi oleh dua aspek yaitu
aspek biologis dan aspek neurologis. Dalam aspek biologis diketahui bahwa pertumbuhan bahasa
manusia mengikuti jadwal perkembangan genetiknya sehingga munculnya suatu unsur
bahasa tidak dapat dipaksakan. Sedangkan aspek neurologis, yaitu kaitan antara
otak dengan bahasa. Menurut Chaer dalam Ariffudin (2010:2) mengemukakan bahwa
dalam sistem saraf manusia, otak merupakan pusat saraf, pengendali pikiran, dan
mekanisme organ tubuh manusia, termasuk mekanisme yang mengatur pemrosesan
bahasa. Oleh
karena itu, perkembangan bahasa manusia
berkaitan erat dengan perkembangan otak.
Untuk
mengetahui lebih lanjut perkembangan bahasa yang dipengeruhi oleh aspek neurologis, dalam makalah ini akan dibahas mengenai struktur dan organisasi otak
manusia yang membuat
manusia berbeda dengan hewan karena bisa berbahasa.
- RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
evolusi otak manusia ?
2. Bagaimana
struktur otak manusia ?
3. Apakah
kaitan antara otak dengan
bahasa
?
- TUJUAN
1. Untuk
mengetahui bagaimana evolusi yang terjadi pada otak manusia
2. Untuk
mengetahui bagaimana struktur otak manusia
3. Untuk
mengetahui apakah kaitan
antara otak dengan bahasa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
EVOLUSI OTAK MANUSIA
Manusia tumbuh secara grandula dari suatu bentuk ke bentuk yang lain selam
berjuta-juta tahun. Salah satu pertumbuhan yang telah diselidiki oleh para ahli
palaeneurologi menunjukkan bahwa evolusi otak dari primat Austrolopithecus sampai dengan manusia masa kini telah berlangsung
sekitar 3 juta tahun. Hal ini tampak paling tidak pada ukuran otak yang membesar
dari 400 miligram menjadi 1400 miligram (Holloway dalam
Dardjowodjojo. 2003:201)
pada kurun waktu antara 3-4 juta tahun lalu. Dari munculnya Homo sapiens pada sekitar 1.7 juta tahun
lalu ukuran otak telah berkembang hampir dua kali lipat, dari 800 miligram ke
1.500 miligram. Meskipun ukuran itu sendiri bukanlah satu-satunya indikator
untuk mengukur perubahan fungsi, paling tidak ukuran itu memungkinkan akan
adanya fungsi yang bertambah.
Perkembangan otak ini dapat dibagi
menjadi empat tahap (Hollowey dalam
Dardjowodjojo. 2003:201).
Tahap pertama adalah tahap perkembangan ukuran seperti yang dikatakan di atas.
Tahap ini tampak pada Homo erectus yang ditemukankan di Jawa dan yang ditemukan di Cina.
Tahap kedua adalah adanya perubahan reorganisasi pada otak tersebut.
Lembah-lembah pada otak ada yang bergeser sehingga memperluas daerah lain
seperti daerah yang dinamakan daerah parietal. Perubahan ini terjadi pada masa
praaustrolopithus ke Austrolopithecus afarensis. Perubahan ketiga adalah
muncunya sistem fiber yang berbeda-beda pada daerah-daerah tertentu melalui
corpus callosum. Perkembangan terakhir adalah munculnya dua hemisfir yang
asimitris.
Dari gambaran singkat ini tampak
bahwa otak manusia telah mengalami evolusi dari yang paling rumit seperti yang
kita miliki sekarang.
B.
STRUKTUR
OTAK MANUSIA
Di samping bentuk tubuh dan
ciri-ciri fisikal lain, yang membedakan manusia dari binatang terutama adalah
otaknya. Manusia berbeda dari binatang karena struktur dan organisasi otaknya berbeda.
Dari
segi ukurannya berat otak manusia adalah antara 1 sampai 1.5 kilogram
(Steinberg dalam Dardjowidjojo 2003:
203) dengan rata-rata 1330 gram ( Halloway dalam Dardjowidjojo 2003:203). Untuk
ukuran orang Barat, ini hanyalah 2% dari berat badannya; untuk manusia
Indonesia bahkan mungkin kurang dari itu. Akan tetapi, ukuran yang sekecil ini
menyedot 15% dari seluruh peredaran
darah dari jantung dan memerlukan 20% dari sumberdaya metabolik manusia.
Seluruh sistem saraf kita terdiri
dari dua bagian utama: (a) tulang punggung yang lain terdiri dari sederetan
tulang punggung yang bersambung-sambungan (spinal cord) dan (b) otak. Sedangkan
batang otak terdiri dari bagian-bagian yang dinamakan mendulla, pons, otak
tengah, dan cerebellum. Bagian-bagian ini terutama berkaitan dengan fungsi
fisikal tubuh, termasuk pernafasan, detak jantung, gerakan, refleksi,
pencernaan, dan pemunculan emosi (Steinberg dalam Dardjowidjojo 2003:203).
Hemisfir kiri mengendalikan semua
anggota badan yang ada disebelah kanan, termasuk muka bagian kanan. Sebaliknya,
hemisfir kanan mengontrol anggota badan dan wajah sebelah kiri. Mata dan
telinga diatur agar berbeda. Pada tiap mata dan telinga terdapat sambungan
syaraf ke hemisfir kiri maupun kanan, meskipun jumlahnya berbeda.
Pada waktu manusia dilahirkan,
belum ada pembagian tugas antara kedua hemisfir ini. Akan tetapi, menjelang
anak mencapai umur sekitar 12 tahun terjadilah pembagian fungsi yang dinamakan
lateralisasi. “Lateralisasi
merupakan proses pengkhususan fungsi dari dua belah otak yang terjadi
karena penyebelahan menjadi dua bagian,
yakni hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Perkembangan tersebut biasa muncul pada
diri anak menginjak usia dua tahun sampai menjelang masa pubertas yang terjadi
secara perlahan-lahan ( H.D.Brown )”.
Kecuali beberapa orifice (lubang)
garis tengah, hampir setiap manusia itu memiliki dua hal, satu di kiri dan satu
di kanan. Bahkan, otak yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai self yang
uniter dan tidak dapat dibagi,
merefleksikan prinsip umum duplikasi bilateral ini. Di bentangan bagian
atasnya, otak terdiri dari dua struktur yakni hemisfer (belahan) serebral kiri
dan kanan yang seluruhnya terpisah kecuali cerebral commissures (komisura
serebral) yang menghubungkannya. Hemisfer kiri dan kanan otak manusia memilki
kemampuan – kemampuan yang berbeda dan memiliki kapasitas untuk berfungsi
secara independen (untuk memiliki pikiran, ingatan, dan emosi yang berbeda).
Dari teori Broca dan Wernicke
sebenarnya sudah dapat ditarik suatu kesimpulan yang menyatakan adanya
spesialisasi atau semacam pembagian kerja pada daerah-daerah otak (korteks)
serebrum manusia. Satu teori yang dapat ditarik secara jelas adalah bahwa
belahan korteks (hemisfer) dominan bertanggung jawab untuk mengatur
penyimpanan/pemahaman dan proses bahasa alamiah.
Selain teori lateralisasi, juga ada
teori lokalisasi otak. Teori lokalisasi atau lazim juga disebut pandangan
lokalisasi (localization view) berpendapat bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan
berada di daerah Broca dan daerah Wernicke.
Perhatikan gambar berikut:
Bagian-bagian otak yang bertanggung
jawab terhadap perilaku berbahasa ialah neokorteks atau otak berfikir.
Neokorteks terbungkus disekitar bagian atas dan sisi-sisi sistem limbik, yang
membentuk 80% dari seluruh materi otak. Bagian otak ini merupakan tempat
bersemayamnya kecerdasan kita. Inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima
melalui penglihatan, pendengaran dan sensasi tubuh. Proses yang berasal dari
pengaturan ini adalah penalaran, berpikir secara intelektual, pembuatan
keputusan, perilaku waras, bahasa, kendali motorik dasar dan ideasi (penciptaan
gagasan) nonverbal.
Jika ada yang berkata, “dia ngomong
nggak pakai otak’’, itu hanyalah sebuah ungkapan bagi orang yang asal bicara.
Perkataannya tersebut akan menyakiti hati orang atau membuat hati orang lain
tersinggung. Dia tidak berfikir panjang sebelum mengucapkan sesuatu. Itulah
maksud dari ungkapan “orang yang ngomng tidak pakai otak”. Padahal, sebenarnya
kita tidak bisa berbicara tanpa menggunakan otak. Hal ini dikarenakan otak
memiliki bagian-bagian yang bertanggung jawab terhadap perilaku berbahasa atau
berbicara (neokorteks). Setiap orang berbicara pasti memiliki tujuan dan tujuan
tersebut tidak mungkin tercipta tanpa adanya pikiran terlebih dahulu.
Pada mulanya dinyatakan bahwa
hemisfir kiri “ditugasi” terutama untuk mengelola ihwal bahasa dan hemisfir
kanan untuk hal-hal yang lain. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa hemisfir
kakan pun ikut bertanggung jawab pula akan penggunaan bahasa. Hemisfir kiri terdiri dari empat daerah
besar yang dinamakan lobe: lobe frontal(frontal lobe), lobe temporal (temporal
lobe), lobe osipital (occipital lobe), dan lobe parietal (parietal lobe).
Keempat lobe ini mempunyai tugas sendiri-sendiri. Lobe frontal bertugas mengurusi
ihwal yang berkaitan dengan kognisi; lobe temporal mengurusi hal-hal yang
berkaitan dengan pendengaran; lobe osipital menangani ihwal penglihatan: dan
lobe parietal mengurusi rasa somaestetik, yakni, rasa yang ada pada tangan,
kaki, muka, dan sebagainya.
Pada 1836, Marc Dax, seorang dokter
pedesaan yang tidak banyak dikenal, mempresentasikan sebuah laporan pendek
dalam sebuah masyarakat medis di Perancis. Presentasi ilmiah itu adalah yang
pertama dan satu-satunya. Dax tersentak oleh kenyataan bahwa di antara
kira-kira 40 pasien dengan kerusakan otak dan masalah bicara yang ditemuinya
selama karirnya, tidak satupun yang mengalami kerusakan yang terbatas pada
hemisfer kanannya. Makalah penting Dax hanya memberikan dampak yang kecil
karena kebanyakan orang pada saat itu percaya bahwa otak bekerja secara
keseluruhan dan bahwa fungsi – fungsi spesifik tidak dapat diatribusikan pada
bagian – bagian tertentu di otak.
Pandangan ini mulai berubah 25 tahun setelah itu, ketika
Paul Broca melaporkan pemeriksaan posmotermnya terhadap dua pasien aphasia.
Aphasia (afasia) adalah defisit yang dihasilkan kerusakan otak terhadap
kemampuan menghasilkan atau memahami bahasa. Kedua pasien Broca memiliki lesi
hemisfer-kiri yang melibatkan sebuah daerah di korteks frontal, tepat di depan
daerah wajah korteks motorik primer. Broca pada awalnya tidak menyadari bahwa
ada hubungan antara afasia dan sisi kerusakan otak. Ia belum pernah mendengar
laporan Dax, tetapi pada 1864, broca pernah melakukan pemeriksaan posmoterm
terhadap tujuh pasien ataksia lain dan
ia terperangah melihat kenyataaan bahwa
seperti kedua pasien yang pertama tadi, mereka semuanya memiliki
kerusakan pada korteks prefrontal inferior hemisfer-kirinya yang kemudian
dikenal sebagai Broca’s area.
Dampak dari bukti bahwa
hemisfer-kiri memainkan peran khusus dalam bahasa dan gerakan yang disengaja
telah memunculkan konsep dominansi serebral. Menurut konsep ini, salah satu
hemisfer – biasanya yang kiri – menjalankan peran dominan dalam mengontrol
proses perilaku dan kognitif yang kompleks , sedangkan yang lainnya hanya memainkan peran kecil. Konsep ini
mengakibatkan praktik penyebutan hemisfer-kiri sebagai hemisfer dominan dan
hemisfer-kanan sebagai hemisfer minor.
Untuk banyak fungsi, tidak ada
perbedaan substansial di antara kedua hemisfer, dan bila perbedaan substansial
itu ada, perbedaan itu cenderung berupa bias kecil yang condong ke salah satu
hemisfer, bukan perbedaan absolut (Brown & Kosslyn, 1993). Dengan
mengabaikan fakta-fakta ini, media populer menggambarkan perbedaan serebral
kiri dan kanan sebagai perbedaan yang
absolut. Akibatnya, secara luas diyakini bahwa berbagai kemampuan secara
eksklusif terletak pada salah satu hemisfer. Sebagai contoh, secara luas diyakini
bahwa hemisfer-kanan memilki kontrol eksklusif untuk emosi dan kreativitas.
Teori-teori awal tentang
lateralitas serebral cenderung menganggap klaster-klaster kompleks berbagai
kemampuan mental terletak di salah satu hemisfer. Hemisfer-kiri cenderung
menunjukkan kinerja yang lebih baik pada tugas-tugas bahasa, sehingga ia diduga
dominan untuk kemampuan-kemampuan
terkait bahasa. Hemisfer-kanan cenderung menunjukkan kinerja yang lebih
baik pada beberapa tes spasial, sehingga
ia diduga dominan untuk kemampuan-kemampuan terkait ruang dan seterusnya.
Barangkali ini adalah langkah pertama yang masuk akal, tetapi sekarang
konsensus di kalangan para peneliti adalah pendekatan ini terlalu simplisistik.
Sedangkan otak binatang seperti
pada mahluk seperti ikan, tikus, dan burung, misalnya, korteks serebral boleh
dikatakan tidak tampak, padahal korteks inilah yang sagat berkembang pada
manusia. Pada mahluk lain seperti simpanse dan gorila juga tidak terdapat
daerah-daerah yang dipakai untuk memproses bahasa.
Sementara orang memakai sebagian
besar otaknya untuk proses mental, termasuk proses kebahasaan, binatang seperti
simpanse lebih banyak memakai otaknya untuk kebutuhan-kebutuhan fisik.
Dari perbandingan antara otak
manusia dengan otak binatang yang paling modern sekali pun tampak bahwa baik
struktur maupun organisasinya sangat berbeda. Perbedaan neurologis seperti
inilah yang membuat manusia dapat berbahasa sedangkan binatang tidak.
C.
KAITAN ANTARA OTAK DAN BAHASA
Aristotle
pada tahun 382-322 Sebelum Masehi telah berbicara soal hati yang melakukan
hal-hal yang kini kita keahui dilakukan oleh otak. Begitu pula Leonardo da
Vinci pada tahun 1500-an (Dingwall 1998: 53). Namun titik tolak yang umum
dipakai adalah setelah penemuan yang dilakukan oleh Broca dan Wernicke pada tahun 1860-an.
Otak memegang peran yang sangat penting dalam
bahasa. Apabila input yang masuk adalah dalam bentuk lisan, maka bunyi-bunyi
itu ditanggapi di lobe temporal, khususnya oleh korteks primer pendengaran. Di sini input tadi diolah secara
rinci sekali.
Setelah
diterima, dicerna, dan diolah seperti ini maka bunyi-bunyi bahasa tadi
“dikirim” ke arah Wernicke untuk diinterpretasikan. Di daerah ini bunyi-bunyi
itu dipilah-pilah menjadi sukukata, kata, frasa, klausa, dan akhirnya kalimat.
Setelah diberi makna dan difahami isinya, maka ada dua jalur kemugkinan. Bila
masukan tadi hanya sekedar informasi yang tidak perlu ditanggapi, maka masukan
tadi cukup disimpan saja dalam memori. Suatu saat nanti mungkin informasi itu
diperlukan. Bila masukan tadi perlu ditanggapi secara verbal, maka interpretasi
itu dikirim ke daerah Broca melalui fasikulus akurat.
Bila
input yang masuk bukan dalam bentuk lisan, tetapi dalam bentuk tulisan, maka
jalur pemrosesannya agak berbeda. Masukan tidak ditanggapi oleh korteks primer
pendengaran, tetapi oleh korteks visual di lobe osipital. Masukan ini tidak
langsung dikirim ke daerah Wernicke, tetapi harus melewati girus anguler yang
mengkoordinasikan daerah pemahaman dengan daerah osipital. Setelah tahap ini,
prosesnya sama, yakni input tadi
difahami oleh daerah Wernicke, kemudian dikirim ke daerah Broca bila perlu
tanggapan verbal. Bila tanggapannya juga visual, maka informasi itu dikirim ke
daerah pareital untuk diproses visualisasinya.
Pandangan
lama memang mengatakan bahwa ihwal kebahasaan itu ditangani pleh hemisfir kiri,
dan sampai sekarang pandangan itu masih
juga banyak dianut orang dan banyak pula benarnya. Penelitian Wada (1949) yang
memasukkan cairan ke kedua hemisfir menunjukkan bahwa bila hemisfir kiri yang
“ditidurkan” maka terjadilah gangguan wicara. Tes yang dinamakan dichotic
listening test yang dilakukan oleh Kimura (1961) juga menunjukkan hasil yang
sama.
Dari
hasil operasi yang dinamakan hemispherectomy operasi di mana satu hemisfir
diambil dalam rangka mencegah epilepsi, terbukti bahwa bila hemisfir kiri yang
diambil maka kemampuan berbahasa orang tersebut menurun drastis. Sebaliknya,
bila yang diambil hemisfir kanan, orang
tersebut masih dapat berbahasa walaupun tidak sempurna.
Meskipun
kasus-kasus di atas mendukung peran hemisfir kiri sebagai hemisfir bahasa ,
dari penelitian-penelitian mutahir didapati bahwa pandangan ini tidak
seluruhnya benar, namun hemisfir kanan ikut berperan.
Di
samping itu, ada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa yang ternyata ditangani
oleh hemisfir kanannya terganggu didapati bahwa kemampuan mereka dalam
mengurutkan peristiwa sebuah cerita atau narasi menjadi kacau. Mereka tidak
mampu lagi untuk menyatakan apa yang terjadi pertama, kedua, ketiga, dst.
Orang-orang
ini juga mendapatkan kesukaran dalam
menarik inferensi. Kalau orang mendengar atau membaca sebuah cerita tentang
seorang pria yang sering menelpon, menemui, dan mengajak pergi seorang wanita,
maka dia akan kesukaran memahami metafora sarkasme. Intonasi kalimat
interogatif juga tidak dibedakan dari intonasi kalimat deklaratif sehingga
kalimat Dia belum datang? dikiranya
sebagai kalimat deklaratif Dia belum
datang.
Dari
gambaran ini tampak bahwa hemisfir kanan juga mempunyai peran bahasa,tetapi
memang tidak seintensif seperti hemisfir kiri. Namun demikian, tetap saja hemisfir kanan
memegang.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Otak manusia telah mengalami evolusi
dari yang paling rumit seperti yang kita miliki sekarang.
·
Hemisfir kiri mengendalikan semua
anggota badan yang ada disebelah kanan, termasuk muka bagian kanan. Sebaliknya,
hemisfir kanan mengontrol anggota badan dan wajah sebelah kiri. Mata dan
telinga diatur agar berbeda. Pada tiap mata dan telinga terdapat sambungan
syaraf ke hemisfir kiri maupun kanan, meskipun jumlahnya berbeda.
·
Lateralisasi merupakan proses
pengkhususan fungsi dari dua belah otak yang terjadi karena penyebelahan menjadi dua bagian, yakni
hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Perkembangan tersebut biasa muncul pada diri
anak menginjak usia dua tahun sampai menjelang masa pubertas yang terjadi
secara perlahan-lahan ( H.D.Brown ).
·
Teori lokalisasi atau lazim juga disebut
pandangan lokalisasi (localization view) berpendapat bahwa pusat-pusat bahasa
dan ucapan berada di daerah Broca dan daerah Wernicke.
·
Otak
memegang peran yang sangat penting dalam bahasa. Apabila input yang
masuk adalah dalam bentuk lisan, maka bunyi-bunyi itu ditanggapi di lobe
temporal, khususnya oleh korteks primer
pendengaran. Di sini input tadi diolah secara rinci sekali. Tetapi jika input yang masuk bukan dalam
bentuk lisan, tetapi dalam bentuk tulisan, maka masukan tidak ditanggapi oleh
korteks primer pendengaran, tetapi oleh korteks visual di lobe osipital.
DAFTAR PUSTAKA
Ariffudin.
2010. Neuro Psikolinguistik. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 2003. Psikolinguistik Pengantar
Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Departemen
Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Edisi Ketiga).
Jakarta:
Balai Pustaka.
Subyakto,
Sri Utari dan Nababan. 1992. Psikolinguistik:
Suatu Pengantar.
Jakarta:
Gramedia.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR
ISI............................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN....................................................................... 1
A.
LATAR BELAKANG MASALAH............................................... 1
B.
RUMUSAN MASALAH................................................................ 2
C.
TUJUAN.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................... 3
A.
EVOLUSI OTAK MANUSIA....................................................... 3
B. STRUKTUR OTAK MANUSIA.................................................... 4
C. KAITAN ANTARA
OTAK DAN BAHASA................................ 9
BAB III PENUTUP................................................................................... 12
A. Kesimpulan....................................................................................... 12
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................... 13
|
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji
syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASPEK NEUROLOGIS BAHASA “ sebagai salah satu pemenuhan materi
mata kuliah Ilmu Politik.
Terima kasih penulis sampaikan
kepada dosen pembimbing dan rekan – rekan yang telah membantu menyusun
pikirannya demi tersusunnya makalah ini.
Dalam penulissan makalah ini
penulis sadar bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
|
0 Berkomentar:
Post a Comment