BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai
salah satu dimensi kehidupan bangsa Indonesia, hukum Indonesia adalah suatu
kebutuhan mendasar yang didambakan kehadirannya sebagai alat pengatur
kehidupan, baik dalam kehidupan individual, kehidupan sosial maupun kehidupan
bernegara. Kebutuhan hakiki bangsa Indonesia akan ketentraman, keadilan serta
kesejahteraan yang dihadirkan oleh sistem aturan yang memenuhi ketiga syarat
keberadaan hukum tersebut manjadi sangat mendesak pada saat ini, di
tengah-tengah situasi transisional menuju Indonesia baru.
Keluhan
sebagian masyarakat tentang belum tersosialisasikannya pemahaman hukum secara
komprehensif, salah satunya diakibatkan oleh sulitnya warga masyarakat memahami
hukum yang berlaku di negara ini dengan bahasa yang relatif mudah dicerna.
Di
sini kami akan mencoba sedikit menjelaskan tentang penegakan hukum dan
realitasnya dalam masyarakat itu sendiri. Sebagian dari masyarakat sudah
mengetahui tentang hukum tetapi dalam terapannya mereka tidak menjalankan hukum
sesuai dengan ketentuan. Begitu juga dengan penyelenggara yang mengatur sistem
hukum di Indonesia, tidak sedikit dari anggaota polri misalnya, terlibat kasus
kriminal.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah realitas sistem hukum
di Indonesia?
2. Siapakah yang berwenang atas berlangsungnya
sistem hukum di Indonesia?
3. Bagaimana pula terapan dari hukum
itu sendiri?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum dan Perubahannya
Hukum
sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Indonesia, senantiasa
dihadapkan pada perubahan sosial yang sedemikian dinamis seiring dengan
perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual, sosial
maupun politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap perkembangan
masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan
keadaan yang telah berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam pikiran manusia
Indonesia.
Perubahan
hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung, baik yang dilakukan oleh
penyelenggara negara yang berwenang (lembaga legislatif dan eksekutif) melalui
penciptaan berbagai peraturan perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan
yang berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun kehidupan
bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh berbagai lembaga yang memiliki
komitmen tentang pembaruan dan pembinaan hukum, sehingga mampu mengisi
kekosongan atau kevakuman hukum dalam berbagai segi kehidupan.
B.
Kepastian Hukum
Mitos realisme hukum ialah adanya
kepastian hukum. Kepastian ini lebih merupakan keyakinan, hukum dianggap
sebagai realitas yang ada dan dibuat secara sempurna. Hukum merupakan
"suatu korpus aturan yang koheren siap untuk diterapkan oleh hakim yang
terlatih dan cukup terampil dalam deduksi silogistis sehingga dapat menemukan
jawaban yang tepat terhadap masalah hukum dengan penuh kepastian" (M
Tebbit, 2000:25).
Padahal, realitas hukum pada
dasarnya justru tidak pasti. Masalah hukum penuh kerikil tajam dan menuntut
pencarian keseimbangan antara prinsip-prinsip, kebijakan, dan asumsi-asumsi
yang tidak tersurat. Pencarian keseimbangan seperti itu sulit diramalkan, alias
tidak pasti.
Bukti sifat ketidakpastian ini
terlihat pada adanya beragam tafsir hukum yang mengatur satu kasus yang sama.
Dalam kasus korupsi, ada yang nominal korupsinya tidak besar tetapi dihukum
berat. Ada yang jelas-jelas korupsi segunung dihukum ringan atau bahkan
dibebaskan. Mereka yang memegang teguh keyakinan kepastian hukum sering
mengabaikan bukan hanya jurang antara teori dan praktik, tetapi juga
kesenjangan antara hukum tertulis dan interpretasi. Interpretasi hukum sebagai
korpus aturan yang tetap, bisa diterapkan pada kasus berlawanan, dengan aturan
yang disesuaikan, berubah, dan ditemukan tiap hari di seluruh yurisdiksi di
Indonesia, bagaimana kepastian hukum bisa dijamin?
Sulit menjelaskan kepada mereka yang
memegang teguh kepastian hukum bahwa keyakinan mereka lebih merupakan mitos
daripada realitas. Keyakinan bahwa hukum merupakan kepastian dasar lebih
mengisi kebutuhan psikologis, yaitu hasrat bawah sadar akan rasa aman.
Jangan-jangan kepastian hukum hanya merupakan wishful thinking yang dianggap
realitas. Bukan maksudnya mau melecehkan kepastian hukum, tetapi mau membongkar
bahwa di dalam kepastian hukum masih terkandung berbagai klaim kesahihan atas
interpretasi masing-masing pihak.
C.
Formalisme Hukum
Menurut Tebbit, ideal kepastian
hukum tidak bisa dilepaskan dari formalisme hukum (2000:26). Formalisme hukum
amat memengaruhi pemahaman hukum dan administrasi praktis masalah keadilan.
Keprihatinan utamanya difokuskan pada bentuk luar hukum, artinya hanya sejauh
hukum tertulis secara harfiah. Lalu kurang memerhatikan jiwa atau substansi
hukum. Akibatnya, ada kecenderungan menafsirkan hukum sebagai sistem tertutup
sehingga penafsiran seakan melulu masalah intern bidang hukum. Cara penafsiran
ini menganggap faktor-faktor sosial lain tidak relevan. Seakan seluruh sistem
hukum dapat dideduksi dari semacam aksioma. Lalu kekeliruan peradilan mirip
dengan melakukan kesalahan karena tidak tepat menjumlah angka.
Obsesi pada kepastian hukum membawa
ke literalisme dengan mengorbankan jiwa hukum. Mengikuti aturan demi aturan
membawa konsekuensinya menyingkirkan rasa keadilan dalam menilai kasus-kasus
khusus. Padahal, kekhasan tiap kasus harus ditemukan dalam substansi situasi
nyata kasus itu, bukan dalam aturan formal yang seakan bisa begitu saja
diterapkan atau disesuaikan dengan kasus. Lalu yang terjadi semacam proses
mekanisasi yurisprudensi dalam bentuk mencari aturan yang dapat diterapkan
untuk memberi jawaban yang tepat. Masalahnya, adakah yang tidak mekanistis?
Tebbit menjawab dengan mengutip
argumen Holmes (2000:27), akar seluruh rosedur itu adalah penilaian di balik
penalarannya yang sering tidak terungkap dan tanpa disadari. Yang dimaksud,
penilaian pribadi yang mendahului ketetapan hukum, suatu penilaian sebelum
proses penalaran dalam bentuk logika.
D.
Logika hukum
Faktor yang sebenarnya memengaruhi
adalah pra-penalaran penilaian ini, khususnya hal-hal yang terkait kebijakan
sosial, tetapi ditutupi dengan deduksi silogistis. Maka, upaya yang perlu dilakukan
adalah mengangkat ke permukaan dan membuat tersurat argumen yang disembunyikan
oleh rasionalisasi logis penilaian itu. Caranya, menggeser fokus dari studi
tentang logika hukum ke studi tentang faktor-faktor baik yang eksplisit maupun
yang tidak disadari, yang sebenarnya justru paling berpengaruh dalam menyeleksi
kesimpulan hakim dan keputusannya.
Faktor-faktor itu adalah politik,
sosial, ekonomi/uang, dan pribadi (2000:29). Banyak ditemui kasus-kasus korupsi
di mana akhirnya pertimbangan politik menjadi paling menentukan. Tak terhitung
jumlah kasus hukum di mana pertimbangan ekonomi atau uang memengaruhi keputusan
hakim. Dan, keputusan-keputusan itu mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Bisa dikatakan, acuan ke sumber
hukum (UU, yurisprudensi, hukum internasional, dan lain-lain) dalam praktik
kalah menentukan dibanding faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan pribadi.
Keadilan yang berasal dari keputusan pragmatis biasanya tidak bisa dilepaskan
dari penilaian moral individu riil hakim dengan segala pemahaman dan
pengalamannya.
Adapun pertimbangan logika hukum
formal biasanya hanya untuk mengecek dan mendukung keputusannya (2000:33). Maka
faktor-faktor itu, karena amat riil, akan amat memengaruhi. Jadi, pokok
persoalan terletak pada penyembunyian realitas dasar pertimbangan yang
sebenarnya oleh mitos kepastian hukum dan pretensi yang mau menunjukkan
seakan-akan keputusan hakim merupakan hasil dari cara penyimpulan logika hukum
yang formal.
E.
Realitas Sistem Hukum di Indonesia
Pasca
kejatuhan soeharto, hukum selalu menjadi isu hangat yang selalu diperbincangkan
di hampir semua kalangan masyarakat negeri ini. Pembicaraan antara lain
mengarah pada sejumlah tuduhan, seperti hukum dianggap sebagai penyebab
kebobrokan sistem penyelenggaraan negara dan lambatnya penanganan persoalan
sosial. Mulai dari menjangkitnya penyakit korupsi di semua lini birokrasi dan
sendi-sendi kehidupan bangsa, kasus mafia peradilan yang tumbuh di tiap
tingkatan lembaga peradilan, respons kebijakan terhadap bencana alam yang lambat
sampai upaya merampok tanah-tanah rakyat dengan menggunakan ijin administrasi
dari hukum negara. Disana muncul pertanyaan besar, apakah persoalan yang
demikian ruwet ini hanya merupakan akibat perilaku oknum di lapangan semata
atau sistem hukum yang kita anut, mulai dari model pendidikan hukum sampai
mental dan perilaku aparat penegak hukum. Persoalan korupsi dan mafia
peradilan, sejak jaman revolusi, jaman otoritarianisme Suharto, sampai jaman
privatisasi, menjadi masalah keseharian penegakan hukum di negeri ini.
Korupsi
dan sogok-menyogok dalam lingkungan peradilan, sudah dianggap sebagai hal yang
biasa dan telah membudaya. Ada kecenderungan perilaku yang hampir sistemik
untuk menegaskan lelucon lama kritik terhadap formalisme, bahwa membawa perkara
ke aparat penegak hukum juga siap dengan resiko membungakan perkara. Lapor
kehilangan kambing, maka akan kehilangan sapi. Kehilangan meja maka akan
menggadaikan rumah.
Institusi
penegak hukum, yang seharusnya menegakkan hukum justru berbalik menjadi
individu atau institusi yang melanggar hukum. Hantu mafia peradilan menjadi
momok yang nyata, sementara keadilan dan kebenaran disembunyikan dibalik
sandiwara pengadilan dan formalitas putusan. Keadilan menjadi hal yang mahal
ditegakkan, telah terjadi konspirasi menjual keadilan dengan sejumlah
kesenangan ataupun ancaman.
Kedua,
aturan hukum hasil dari kolaborasi dan kospirasi elit-elit kepentingan
tertentu, misalnya pasal-pasal pesanan dari pihak tertentu atau pemerintah
membuat aturan untuk melindungi diri dan para gengnya. Bukankah aturan hukum
itu pada umumnya di produksi oleh legislatif dan eksekutif, sementara mereka
itu menyuarakan dan berasal dari kepentingan politik tertentu (partai politik)
yang secara otomatis akan membuat aturan untuk melindungi diri dan kepentingan
kelompoknya, sehingga agak susah perumusan aturan hukum idealnya berpihak pada
kepentingan umum, kecuali memang moralitas-kultural legislatif dan eksekutif
tidak cacat dimata publik.
Sementara
disisi lain produk hukum itu, bersifat kaku dan stagnan. Walhasil sangat banyak
tindakan dan peristiwa hukum yang tidak diatur dalam produk hukum itu. Hukum
dalam hal ini tidak mengikuti perkembangan atau mengontrol kemajuan zaman,
malah—sebaliknya hukum berlari mengikuti lajunya arus zaman.
Ketiga,
realitas sosial yang menjadi kebiasaan dan diakui keberadaannya oleh
masyarakat. Pemaknaan tentang hukum sekarang dalam kondisi tertentu seakan
tidak mengikat lagi, semua boleh diatur karena yang mengatur bukan lagi hukum
itu sendiri tetapi kekuasaan dan harta. Ini akibat prustasinya para pencari
keadilan di meja hijau yang harus kandas dan kalah akibat putusan pengadilan
yang berpihak kepada pemilik modal dan kekuasaan. Termasuk juga, kebiasaan
sosial-kultural masyarakat yang agak bertentangan dengan hukum positif yang
berlaku, misalnya judi (sabung ayam) di daerah Bali menjadi kebiasaan orang
Bali yang tentu bertentangan dengan hukum positif yang melarang di lakukannya
judi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum
sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Indonesia, senantiasa
dihadapkan pada perubahan sosial yang sedemikian dinamis seiring dengan
perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual, sosial
maupun politik bernegara.
Masalah
hukum penuh kerikil tajam dan menuntut pencarian keseimbangan antara
prinsip-prinsip, kebijakan, dan asumsi-asumsi yang tidak tersurat.
Menurut
Tebbit, ideal kepastian hukum tidak bisa dilepaskan dari formalisme hukum
(2000:26).
Faktor
yang sebenarnya memengaruhi adalah pra-penalaran penilaian ini, khususnya
hal-hal yang terkait kebijakan sosial, tetapi ditutupi dengan deduksi
silogistis. Adapun pertimbangan logika hukum formal biasanya hanya untuk
mengecek dan mendukung keputusannya (2000:33).
Pasca
kejatuhan soeharto, hukum selalu menjadi isu hangat yang selalu diperbincangkan
di hampir semua kalangan masyarakat negeri ini. Korupsi dan sogok-menyogok
dalam lingkungan peradilan, sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan telah
membudaya. Persoalan korupsi dan mafia peradilan, sejak jaman revolusi, jaman otoritarianisme
Suharto, sampai jaman privatisasi, menjadi masalah keseharian penegakan hukum
di negeri ini.
B.
Saran
Indonesia
adalah Negara yang kerap dengan hukum-hukum yang berlaku. Maka di harapkan
kepada kita semua untuk mematuhi semua hukum yang telah berlaku di Negara yang
kita cintai ini. Maka barang siapa yang tidak mematuhi hukum sesungguhnya dia
telah melanggar UU Pemerintah. Sebagai kata istilah dimana bumi dipijak maka di
situlah langit di junjung.
DAFTAR PUSTAKA
-
Bisri, Ilham, 2004. Sistem Hukum Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo.
-
http://www.habibiecenter.or.id/index.cfm?menu=berita&fuseaction=artikel.detail&detailid=383&bhs=ina
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar.............................................................................................................. i
Daftar
Isi....................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 3
A. Hukum dan Perubahannya................................................................................ 3
B. Kepastian Hukum............................................................................................. 4
C. Formalisme Hukum........................................................................................... 5
D. Logika hukum................................................................................................... 6
E. Realitas Sistem Hukum di Indonesia................................................................ 7
BAB
III PENUTUP................................................................................................. 10
A. Kesimpulan..................................................................................................... 10
B. Saran............................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 12
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin,
puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Realitas
Sistem Hukum Indonesia“ sebagai salah satu pemenuhan materi mata kuliah
Ilmu Politik.
Terima kasih penulis
sampaikan kepada dosen pembimbing dan rekan – rekan yang telah membantu
menyusun pikirannya demi tersusunnya makalah ini.
Dalam penulissan
makalah ini penulis sadar bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
0 Berkomentar:
Post a Comment