BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyaknya kriminalitas yang terjadi membuat kita perlu
membahas tentang norma- norma dan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan.
Di dalam masyarakat manusia selalu ada, dan selalu dimungkinkan adanya, apa
yang disebut double reality. Di satu pihak ada sistem fakta, yaitu
sistem yang tersusun atas segala apa yang senjatanya di dalam kenyataan ada,
dan di lain pihak ada sistem normatif, yaitu sistem yang berada di dalam mental
yang membayangkan segala apa yang seharusnya ada.
Sistem fakta dan sistem normatif di atas itu sesungguhnya
bukan realita yang identik. Namun, meskipun tidak identik, kedua realitas itu
pun sama sekali tidak saling berpisahan. Antara keduanya ada pertalian yang
erat; secara timbal balik, yang satu amat memengaruhi yang lainnya.
Pertama- tama, sistem fakta berfungsi sebagai determinan
sistem normatif. Artinya, bahwa apa yang dibayangkan di dalam mental sebagai
suatu keharusan itu sesungguhnya adalah sesuatu yang di alam kenyataan
merupakan sesuatu yang betul- betul ada, dan atau yang mungkin ada. Norma atau
keharusan selalu dipertimbangkan dalam kenyataan dan mempertimbangkan pula
segala kemungkinan- kemungkinan yang ada dalam situasi fakta. Orang tidak akan
mungkin diwajibkan melakukan tindakan yang tidak akan dikerjakan oleh orang
pada umumnya.
Sementara itu, di lain pihak sistem normatif pada gantinya
balik memengaruhi sistem fakta (kenyataan). Di dalam hal ini, wujud dan bentuk
perilaku- perilaku kultural yang di alam kenyataan ditentukan oleh pola- pola
kultural[1] yang telah diketahui apriori[2] di
dalam mental sebagai keharusan- keharusan yang harus dikerjakan. “Mengapa
perilaku- perilaku pada kenyataannya berhal demikian” itu tidak lain adalah
karena “sistem dan tertib” normatifnya memang mengharuskan hal dan keadaan yang
demikian itu. Dengan jalan membebankan keharusan- keharusan yang disebut norma-
norma sosial itu, maka secara keseluruhan dapat diwujudkan suatu aktifitas
bersama yang tertib yang dapat digerakkan secara efektif ke arah pemenuhan
keperluan- keperluan dan hajat- hajat hidup masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari norma dan lembaga sosial?
2. Apa
hubungan norma dan lembaga sosial?
3. Apa
pengaruh norma- norma pada masyarakat pada umumnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Norma Sosial
Norma ialah “suatu petunjuk, perintah, atau anjuran untuk
mengatur kelakuan anggota kelompok. Norma dapat bersifat positif dan juga
bersifat negatif”.[3] Di dalam kenyataan sehari- hari,
kehidupan sosial manusia tidaklah hanya berwujud suatu jumlah perilaku dan
hubungan- hubungan antarmanusia di alam kenyataan ini saja, melainkan sekaligus
juga berwujud suatu sistem determinan yang disebut sistem norma. Apabila
perilaku- perilaku riil warga masyarakat dapat kita amati wujudnya yang konkret
di alam fakta, norma- norma determinan yang mendasari perilaku- perilaku riil
itu dapat kita hayati di alam ide masyarakat. Memahami perilaku dan hubungan-
hubungan anatarmanusia sebagaimana wujudnya di alam fakta yang riil saja jelas
belum cukup sempurna; begitu pula memahami bagaimana perilaku- perilaku dan
hubungan- hubungan anatarmanusia di dalam masyarakat itu seharusnya menurut
norma- norma saja belum cukup sempurna.
Norma- norma kemasyarakatan memberikan petunjuk bagi
seseorang yang hidup di dalam mayarakat.[4] Norma- norma sosial atau norma-
norma kemasyarakatan itu dalam prakteknya mempunyai lemah kuatnya mengikat
kepada anggota- anggotanya. Tingkatan lemah- kuatnya norma- norma itu
menunjukkan kekuatan yang dapat digunakan untuk memaksa kepada seseorang (para
anggota masyarakat) untuk mentaati aturan yang terkandung di dalamnya.
Ada berbagai macam jenis norma- norma sosial, yang tak
selamanya dapat mudah dibedakan satu sama lain. Oleh karena itulah usaha- usaha
meangadakan klasifikasi yang sistematis amatlah sukar. Satu diantara usaha-
usaha ini mencoba membedakan norma- norma sosial disokong oleh sanksi- sanksi
yang tidak seberapa berat serta tidak mengancamkan ancaman- ancaman fisik,
sedangkan satu golongan lagi berlaku dengan sokongan- sokongan sanksi- sanksi
yang berat serta disertai dengan ancaman- ancaman fisik.
Ada satu pembedaan lagi yang mencoba membedakan norma- norma
sosial itu atas dasar bagaimana masing- masing norma itu dilahirkan dan berlaku
di dalam masyarakat. Ditanyakan, apakah norma- norma itu dilahirkan secara
sengaja lewat perundang- undangan, ataukah lahir secara berangsur- angsur tanpa
disadari lewat kebiasaan- kebiasaan dan praktik- praktik hidup kemasyarakatan.
Namun, cara apa pun juga yang ditempuh untuk membedakan norma- norma itu satu
sama lain ialah bahwa batas pembedaan satu sama lain tidak selamanya jelas.
Norma- norma dalam masyarakat dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1. Usage
(cara)
Ialah
bentuk perbuatan atau kebiasaan bertingkah laku. Usage lebih
menonjol di dalam hubungan antarindividu di dalam masyarakat. Suatu
penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, paling-
paling hanya celaan saja dari pribadi (individu) lain.
Misalnya, tata cara berbicara (berpendapat) di dalam musyawarah warga, ada yang
berbicara dengan penuh wibawa dan ada juga yang cara berbicaranya dengan
berapi- api. Dalam cara yang terakhir biasanya dianggap kurang sopan. Dan untuk
hal itu, tidak ada hukuman, mungkin hanya dicela saja.
2. Folkways
(kebiasaan)
Diterjemahkan
menurut arti kata- katanya, folkways berarti tata cara (ways)
yang lazim dikerjakan atau diikuti oleh rakyat kebanyakan (folk). Di
dalam literatur- literatur sosiologi, folkways dimaksudkan
untuk menyebutkan seluruh norma- norma sosial yang terlahir dari adanya pola-
pola perilaku yang selalu diikuti oleh orang- orang kebanyakan-di dalam hidup
mereka sehari- harinya-karena dipandang sebagai suatu hal yang lazim. Folkways juga
bisa diartikan sebagai perbuatan yang diulang- ulang dalam bentuk yang sama,
yang diakui dan diterima masyarakat.
Folkways mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada usage.
Adalah bukti bahwa orang- orang lebih banyak menyukai folkways karena
merupakan perbuatan yang diulang- ulang dalam bentuk yang sama. Misalnya,
kebiasaan memakai celana panjang jika seseorang pergi ke kantor, tetapi ada
seseorang yang memakai sarung-contoh-ke kantor, maka perbuatan tersebut-dia
memakai sarung-akan dianggap sebagai suatu penyimpangan.
3. Mores
(tata kelakuan)
Mores bisa diartikan sebagai kebiasaan yang diterima sebagai
norma pengatur. Oleh karena itu selalu dipertahankan oleh ancaman sanksi-
sanksi yang lebih keras. Pelanggaran terhadap mores selalu
disesali dengan sangat, dan orang selalu berusaha dengan amat kerasnya
agar mores tidak dilanggar.
Kesamaan mores dan folkways terletak
pada kenyataan bahwa kedua- duanya tidak jelas asal- usulnya, terjadi tidak
terencana. Dasar eksistensi[5]nya pun tidak pernah dibantah, dan
kelangsungannya-karena didukung tradisi-relatif amat besar. Kesamaan lain ialah
bahwa kedua- duanya dipertahankan oleh sanksi- sanksi yang bersifat informal[6] dan komunal[7], berupa sanksi spontan dari kelompok
sosial dimana kaidah- kaidah tersebut hidup. Walaupun ada kesamaan- kesamaan
antarafolkways dan mores, namun mores dipandang
sebagai hakikat dari kebenaran. Mores adalah segala norma yang
secara moral dipandang benar. Pelanggaran terhadap mores selalu
dikutuk sebagai sesuatu hal yang secara moral tidak dibenarkan. Mores tidak
memerlukan dasar pembenaran, karena mores itu sendiri adalah
sesuatu yang sungguh- sungguh telah bernilai benar. Mores tidak
bisa diganggu gugat untuk diteliti benar-tidaknya; sedangkan folkways-di
lain pihak-, benar- tidaknya masih agak leluasa untuk diperbantahkan.
4. Custom
(adat istiadat)
Ialah
tata kelakuan yang kekal serta kuat integritas[8]nya dengan pola- pola perilaku masyarakat
dan dapat meningkat kekutan mengikatnya. Jika dilanggar, maka sanksinya
berwujud nestapa baginya. Misalnya, hukum adat yang melarang terjadinya
perceraian, kecuali jika salah satu dari kedua orang itu meninggal, karena
pernikahan dianggap sesuatu yang bersifat abadi. Apabila terjadi perceraian,
maka bukan hanya yang bersangkutan yang namanya tercemar, seluruh keluarga atau
ketururnannya akan ikut tercemar. Biasanya orang yang melanggar akan dikucilkan
dari masyarakat.
5. Hukum[9]
Masih
ada beberapa masyarakat agraris yang primitif, kecil, terisolasi yang keadaan
tertibnya cukup dijamin oleh adanya folkways dan mores saja.
Masyarakat- masyarakat demikian ini lazimnya kecil- kecil saja, terdiri atas
beberapa puluh jiwa, dimana para warga masyarakatnya dengan mudah dapat mengenali
dan saling berkenalan dengan eratnya. Di dalam keadaan demikian itu maka apa
yang dilakukan oleh salah satu masyarakat itu dengan segera akan dapat pula
diketahui oleh seorang warga yang lain, dan karena itu mendapatkan sorotan
perhatian.
Kenyataannya
tidak semua masyarakat dapat menegakkan ketertiban secara apa yang dilakukan
oleh masyarakat- masyarakat kecil dan terisolasi seperti itu. Pada masyarakat
umumnya, diperlukan pula adanya segugus kaidah yang lain, yang lazim
disebut hukum, untuk menegakkan keadaan tertib sosial. Berbeda
halnya dengan folkways dan mores, pada hukum
didapati adanya organisasi-politik khususnya, yang secara moral dan berprosedur
bertugas memaksakan ditaatinya kaidah- kaidah sosial yang berlaku. Inilah
organisasi yang lazim dikenal nama badan peradilan. Apabila suatu mores memerlukan
kekuatan organisasi peradilan semacam itu agar penataannya bisa dijamin, maka
sesegera itu pula mores itu telah bisa dipandang sebagai
hukum. Di sisi lain, karena mores itu tak lain adalah kaidah-
kaidah yang tak tertulis, maka hukum yang dijadikan dari mores-dengan
ditunjang oleh wibawa suatu struktur kekuasaan politik-ini pun lalu merupakan
hukum yang tidak tertulis (hukum adat, costumary law).
6. Nilai[10]
Nilai
adalah gagasan mengenai apakah suatu pengamalan itu berarti atau tidak berarti
Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi
ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.
Nilai
adalah suatu hal yang penting dari kebuadayaan. Suatu tindakan dianggap sah
–secara moral dapat diterima-kalau harmonis dengan nilai- nilai yang disepakati
dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan itu dilakukan. Ketika nilai yang
berlaku menyatakan bahwa kesalehan beribadah adalah sesuatu yang harus
dijunjung tinggi, maka bila ada orang yang malas beribadah tentu akan menjadi
bahan pergunjingan.
B. Proses diterimanya Norma- norma ke Dalam Lembaga Sosial
Setelah norma- norma tersebut diatas tidak begitu saja
menjadi bagian dari lembaga sosial. Meskipun pada akhirnya akan menjadi bagian
tertentu dari lembaga soaial (kemasyarakatan), norma- norma tersebut akan
melalui proses tertentu. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan (institutionalization
process), yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma yang baru
untuk menjadi bagian dari lembaga kemasyarakatan. Suatu norma tertentu
dikatakan dikatakan telah melembaga (intitutionalized) apabila:
1. Diketahui;
2. Dipahami
atau dimengerti;
3. Ditaati;
dan
4. Dihargai.
C. Sistem Pengendalian/Pengawasan (Sosial Control)
Agar anggota masyarakat menaati norma yang berlaku,
diciptakan sistem pengawasan sosial (sosial control), yakni sistem yang
dijalankan masyarakat agar selalu disesuaikan dengan nilai- nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat. Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu
terhadap individu lainnya (misalnya, seorang ibu mendidik anak- anaknya untuk
menyesuaikan diri pada kaidah- kaidah dan nilai- nilai yang berlaku) atau
mungkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial (misalnya,
seorang dosen memimpin beberapa orang mahasiswa di dalam kuliah- kuliah kerja).
Dengan demikian, pengendalian sosial terutama bertujuan
untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan- perubahan dalam
masyarakat. Atau, suatu sistem pengendalian sosial yang bertujuan untuk
mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan
keadilan/kesebandingan.
Cara pengawasan/pengendalian sosial, dilakukan dengan:
1. Mempertebal
keyakinan anggota masyarakat akan kebaikan nilai- nilai dan norma- norma yang
berlaku;
2. Memberikan
penghargaan kepada setiap anggota masyarakat yang taat kepada norma- norma yang
berlaku;
3. Mengembangkan
rasa malu dalam diri atau jiwa anggota masyarakat apabila menyimpang dari norma
yang berlaku;
4. Menimbulkan
rasa takut;
5. Menciptakan
sistem hukum, yaitu tata tertib dengan sanksi (pidana) yang tegas kepada para pelanggarnya.
D. Lembaga Kemasyarakatan (Sosial Institution)
Lembaga kemasyarakatan mengandung pengertian adanya bentuk
yang sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak[11] berupa norma- norma dan aturan-
aturan tertentu yang menjadi ciri lembaga kemasyarakatan itu. Ciri- ciri dari
lembaga kemasyarakatan tersebut yaitu:
1. Suatu
lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi pola- pola pemikiran dan perilaku
yang terwujud melalui aktifitas- aktifitas kemasyaratakan dan hasil- hasilnya.
2. Suatu
tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri semua lembaga kemasyarakatan.
3. Lembaga
kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.
4. Lembaga
kemasyarakatan mempunyai alat- alat perlengkapan yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
5. Lembaga
biasanya juga merupakan ciri khas lambaga kemasyarakatan.
6. Suatu
lembaga kemasyarakatan mempunyai suatu tradisi tertulis atau tidak tertulis.
Lembaga- lembaga atau institusi tidak lain adalah perwujudan
dari norma- norma dan aturan- aturan sosial yang terdapat di masyarakat dalam
berbagai segi kehidupan. Contoh dari lembaga kemasyarakatan ialah:
1. Bidang
ekonomi: lembaga hak milik, lembaga bank, lembaga koperasi, CV, dan lain- lain.
2. Bidang
pendidikan: pesantren, madrasah, sekolah, akademi, universitas, dan lain- lain.
3. Bidang
agama: masjid, gereja, wakaf, dan lain- lain.
4. Bidang
politik: desa, kecamatan, DPR, MPR, dan lain- lain.
5. Bidang
keluarga: perkawinan, dan lain- lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat kita ketahui kehidupan di
masyarakat menumbuhkan norma- norma yang, secara langsung atau tidak, secara
sadar atau tidak sadar, mengikat kita untuk mempunyai rasa toleransi antar
sesama tanpa menyingkirkan hak- hak masyarakat yang lain. Dan itu semua diatur
oleh norma- norma di lingkungan dimana masyarakat itu hidup.
Setiap norma yang dilanggar akan mendapatkan hukuman sesuai
perbuatan yang dilakukan. Dan dimana ada norma- norma, pasti terdapat lembaga-
lembaga yang mengatur dan mengawasnya. Tidak semua norma- norma bisa diterima
dengan langsung, norma- norma tersebut akan melalui proses yang sudah ada.
B. Saran
Hendaknya semua norma- norma yang sudah ada diakui,
dipahami, dihargai, dan diketahui keadaannya agar tidak ada perilaku
menyimpang. Meskipun setiap norma pasti akan dilanggar oleh masyarakat, akan
tetapi sebagai masyarakat yang sudah mengetahui norma- norma yang berlaku, kita
tidak melanggarnya. Sebab, semakin sedikit norma- norma yang dilanggar, semakin
bagus penilaian yang kita dapat, dan semakin menjadi identitas negara yang
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, soerjono. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Gravindo Persada. 2007.
Narwoko, j. Dwi & Bagong
Suyanto. Sosiologi: teks pengantar dan terapan. Jakarta: Kencana.
2007.
Asyari, imam. Pengantar
Sosiologi. Surabaya: Usaha Nasional. 1983.
Riwayadi, susilo dan Nur Anisyah,
suci. Kamus Populer. Suarabaya: Sinar Terang.
0 Berkomentar:
Post a Comment